26 Oktober 2009

Menjadi Juragan Kambing

Melalui PT. Harmonia Saga Makmur (HSM), dia mengembangkan Aqiqah Center, pusat penjualan kambing untuk keperluan akikah (perayaan setelah kelahiran bayi dengan mencukur rambut dan member nama).
Lucu? tunggu dulu, jangan sepelekan bisnisnya. Boleh dibilang. kini Andrilah pengusaha kambing terbesar di Jabotabek. Saat Idul Adha, setidaknya 2500 ekor kambing bisa dijualnya, dia juga cerdik: sukses menggandeng 15 rumah sakit di Jabotabek (di antaranya Hermina, Sari Asih dan Insani), untuk menyediakan kambing akikah buat pasien yang membutuhkan, juga, memasok beberapa pasar (100 ekor/hari) dan menjadi penyelanggara akikah missal untuk korporat. Minyak Telon Cap Lang sebut saja, pernah menunjukHSM sebagai pelaksana untuk akikah 200 ekor kambing.

Tak ada sesuatu yang datang begitu saja. Andri mulai belajar bisnis ketika kuliah, semasa di ITB. Dia pernah membuka usaha rental komputer dan setelah lulus berjualan buah-buahan di Tanah Tinggi, Jakarta . Mantan manajer pemasaran di perusahaan distribusi komputer ini sejak awal memang tertarik dengan dunia wirausaha. Pada 2004 bersama teman-temannya dia mendirikan lembaga incubator bisnis bersama Lembaga Pengelolahan, Pembinaan dan Pengembangan Wirausaha (LP3W) Harmonia. Kegitatannya: menyelenggarakan seminar kewirausahaan. Lembaga ini sempat juga menjual berbagai produk elektronik seperti digital printing, telepon seluler dan panel lisrik.
Namun, kelahiran Jakarta 1972 ini akhirnya berkesimpulan bahwa berbisnis mesti fokusdan tidak harus dibidang High tech. Dia pun lalu memilih usaha pinggir jalan: bisnis kambing Dengan harapan kami bisa membuat contoh usaha bisnis kambing yang berhasil dan kemudian mengangkat gengsi dan taraf hidup peternak kambing, ujar Andri yang memulai bisnis kambing pada Februari 2006 dengan modal awal Rp 15 juta, dialokasikan untuk menyewa tempat, membangun kandang dan membeli beberapa ekor kambing.
Awalnya Andri mengarap pesanan musiman seprti Idul Adha. Lalu, berlanjut ke momen yang datengnya bisa kapan saja, seperti akikah. Untuk promosi, dia memasang banner mini di pohon-pohon, member voucer diskon akikah sebagai cendramata pernikahaan, hingga mendekati berbagai rumah sakit dan bidan. Waktu itu belum ada yang melakukan pendekatan ke kalangan rumah sakit. Pihak rumah sakit memberi informasi ketika pasien akan membuat akte kelahiran.
Bisnis kambing itu rupanya berjalan baik. Apalagi , setelah dia mendapatkan suntikan modal dari mitra investor, khususnya Muriatno Albaro dan Affendi Arsyad besan pemilik masjid kubah emas Depok, Dian Almahri. Setelah setahun berjalan, Andri pun mendirikan CV Harmonia Adil Mandiri dan belum lama ini diubah menjadi HSM. Omsetnya?
Kini HSM per tahun mencapai Rp 5 miliar dari hasil ternak di dua tempat: Balaraja, Tangerang seluas 7.500 m2 dan Rangkasbitung, Banten, seluas 4 hektar. Untuk mempercepat perkembangan bisnisnya, dia juga mendirikan Kelompok Peternak Saga Makmur diresmikan Wakil Bupati Tangerang H. Rano Karno dan Koperasi Peternak yang diresmikan Menteri Koperasi H. Suryadarma Ali.
Faizal Amry Jalil adalah salah satu pelanggan HSM yang membeli kambing untuk kebutuhan seperti akikah dan Hari Raya Qurban. Saya sudah beberapa kali membeli dari Andri Fajria. Awalnya dia membeli karena tahu dari brosur, tapi kemudian dia selalu membeli di HSM setelah mengetahui kualitas kambingnya.
Bekerja sama dengan PT. Rekayasa Industri, Andri berencana membuka 5 Ha area peternakan di Cibubur, Jakarta Tahun 2009, Andri dkk. juga akan membangun usaha yang mendatangkan nilai tambah, seperti membuat kerajinan kulit, tulang, tanduk dan bulu, serta membuat usaha bakso kambing keliling. Tahun 2010 kami akan dirikan pabrik pengelolahan kambing dan pada 2011 kawasan peternakan kami di Balaraja akan menjadi agrowisata khusus kambing, papar dosen tamu Institut Teknologi Bandung dan Universitas Andalas untuk mata kuliah Kewirausahaan ini.
Afendy Arsyad, Komisaris HSM, menambahkan, Aqiqah Center akan mengelola segala kebutuhan akikah bagi masyarakat Jabotabek Bahkan tak hanya akikah, nantinya diupayakan menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengetahui seluk beluk kambing, bahkan melakukan diversifikasi dengan membuat sosis daging kambing dan restoran dengan masakan berbahan kambing.Kami ingin fokus di sini, ujar mantan Camat Mauk Tangerang ini.
(disadur dari majalah SWA edisi 25/XXIV/24 November - 3 Desember 2008)

Baca Juga :

- Idealisme Yang Berbuah Manis
- Atim, Ekspor Ijuk Sampai Taiwan
- Dimulai Bukan Dihitung
- Agoes dari Iseng Jadi Pengusaha Jamur

17 Oktober 2009

Idealisme Yang Berbuah Manis

Muda dan penuh kenyakinan, beitulah sosok M Satria Nugraha, pendiri Stranough Entreprise. Stranough membuat gitar akustik secara custom mode atau gitar yang dirancang khusus untuk sang pembeli layakna kita pergi ke tukang jahit. Hanung, demikian nama pangglian lelaki 27 tahun ini, baru saja terpilih sebagai salah satu wirausahawan muda terbaik pada Dji Sam Soe Award 2009.
Selain mengarungi pasar nasional, gitar stranough sudah dieksport ke Belanda, Australia, Jepang, Singapura, Malaysia, dan Amerika. Pabriknya yg berlokasi di Sindanglaya, kabupaten Bandung Timur, memproduksi 250 buah gitar per-bulan. Omzetnya kini mencapai Rp 3 milyar per tahun.


Sebetulnya, tak ada latar belakang wirausaha di keluarganya yang menetap di Semarang ini. Ayahnya seorang dokter dan berharap Hanung pun mengikuti jejaknya menjadi dokter. Namun Hanung tak berminat. Sejak SD, ia menunjukan hasratnya pada musik, khususnya gitar. Ketika duduk di bangku SMP, ia kerap ingin main band bersama teman-teman. ”Kepengen-nya sih jadi musisi, tapi enggak kesampaian,” ujarnya sambil ketawa.
Mesti beasal dari keluarga dengan latar belakang pendidikan tinggi, Hanung mengaku kehidupannya tak berlebihan. Karena itu, ia kerap tak berani meminta uang untuk membeli hal-hal yang mungkin akan dianggap tidak penting oleh orang tuanya, termasuk gitar. Jadi, ia hanya bisa meminjam gitar temannya.
Ketika lulus SMA pada 2000, Hanung memutuskan ingin kuliah di Bandung, dimana pun sekolahnya. Ia tertarik karena Bandung kota kreatif. Hanung kemudian kuliah di Teknik Industri di Institut teknologi Nasional (Itenas). Saat kuliah, ia belum juga memliki gitar, di sisi lain, Hanung seorang yang idealis dan mau serba yang terbaik. “Harga gitar yang saya mau Rp19-an juta. Ha-ha-ha….,” ujarnya. Gitar itu mahal karena termasuk artist series. Ia kemudian minta uang kepada orang tuanya. Tentunya, ia tidak bilang mengenai harga gitar impiannya itu. Berapa saja yang mau diberikan orang tuanya, ia terima. Ternyata orang tuanya memberinya dana Rp 2 juta.
Hanung kemudian banyak melakukan riset lewat internet tentang bermacam spesifikasi gitar. Ia benar-benar ingin memaksimalkan uang yang dimilikinya untuk mendapatkan yang terbaik. Setelah hampir setahun meriset, Hanung akhirnya mendatangi sebuah tempat perajin gitar di Bandung. Tempat itu sangat sederhana dan pengerjaannya dilakukan secara tradisional. Ia memaparkan spesifikasi gitar seperti apa yang diinginkannya. Para perajin itu kaget karena Hanung ternyata tau lebih banyak dari mereka.
“Mereka selama ini hanya membuat gitar dan servis secara tradisioal sesuai dengan yang diwariskan dari kakeknya secara turun menurun. Bayarannya untuk sevis saja kadang cuma rokok. Jadi, keterampilan mereka seperti tidak terlalu di hargai,” ujar Hanung.
Melihat kondisi itu, Hanung terpikir untuk menjadikannya sebagai bisnis yang lebih profesional. Iseng-iseng ia menawari perajin itu bekerja dengannya dan nanti ia pula yang menjualkan. Tak di sangka, para pengrajin itu setuju. ”Saya juga kaget ketika mereka mau. Tapi ya sudahlah, kenapa tidak seriusi saja,” kata Hanung.
Pada 2003, ia mulai membuat rencana bisnis. Masalahnya ia tak punya modal. Hanung pun kembali menghubungi orang tuanya untuk minta bantuan dana. Ketika ia bilang mau berbisnis membuat gitar, orang tuanya tak setuju dan serba ragu akan pilihan itu. Setelah beberapa waktu, ia kembali membujuk orang tuanya. Kali ini ia mengatakan butuh dana untuk belajar sesuatu yang tidak bisa diperolehnya dari bangku kuliah. Akhirnya, orang tuanya melunak dan memeberinya uang Rp 7 juta.
Berbekal uang itu, Hanung menyewa sebuah rumah kecil di kawasan Jalan Suci, Bandung. ”Rumahnya seperti kandang kuda, kecil dan semua terbuat dari kayu,” ujanya mengenang. Lantai duanya disewakannya lagi untuk kos-kosan, sedangkan lantai dasar untuk usaha gitar. Proses produksi dilakukandihalaman belakang rumah.
Hanung memulai usahanya bersama tia orang perajin. Di masa-masa awal usahanya, ia hanya mendapat pesanan satu gitar per bulan. Hanung kemudian melakukan pemasaran melalui internet secara lebih serius, apakah itu melalui website ataupun komunitas-komunitas musik. Pertumbuhan usahanya masih merangkak pelan.
Awal 2005, barulah Hanung mendapat e-mail dari calon pembelidi Singapura, Australia, dan Belanda. Sejak awal, Hanung telah menjelaskan bahwa usahanya kecil dan belum pernah menerima pesanan dalam jumlah besar. Ternyata pembeli dari Belanda tampak serius. Mereka minta dibuatkan gitar dengan spesifik tertentu. Hanung membuatnya sesuai dengan permintaan dan mengirimkan fotonya. Ternyata mereka suka dan minta dikirimi sampel aslinya ke Belanda.
Waktu itu, Hanung betul-betul tak tahu seberapa nyata pembeli dari Belanda itu. Namun ia nekat saja mengirimnya dengan paket kiriman luar negeri. “Setelah itu, saya telepon bapak dan bilang, eh saya sudah jual gitar ke luar negeri, lho. Padahal waktu itu saya juga belum tahu apa akan dibayar apa tidak,” ujar Hanung sambil tertawa.
Sikap optimisnya itu ternyata berbuah manis. Sebulan kemudian, perusahaan dari Belanda itu kembali mengirim e-mail. Mereka menyatakan sangat senang dengan sampel gitar yang dikirim dan ingin menjajaki kerja sama lebih jauh. Lagi-lagi dengan jujur Hanung menceritakan kondisi usahanya yang memang masih kecil. Karena sudah kadung jatuh cinta dengan gitar Stranough, bos besar perusahaan Belanda itu datang langsung ke Bandung untuk mengecek sendiri bengkel produksi stranough. ”Ia terkejut melihat tempat saya yang kecil,” kata Hanung.
Pertemuan itu ternyata berhasil mencapai kesepakatan akhir. Perusahaan dari Belanda melakukan pemesanan pertama 250 gitar. Itulah order besar pertama yang di peroleh Stranough. Bertepatan dengan itu, Hanung sedang mengerjakan skripsi. Ia sempat bingung menentukan prioritas. Pada akhir 2005, ia berhasil membereskan keduanya, pesanan gitar dan skripsi.
Hasil keuntungan order itu cukup besar. Hanung pun makin mantap menekuni bisnisnya. Apalagi kewajiban morilnya untuk menyelesaikan kuliah sudah ia penuhi. Ia kemudian bisa menyewa rumah yang sedikit lebih besar sebagai tempat usaha. Tak ingin setengah-setengah, Hanung membeli mesin Computer Numerical Control (CNC) untuk memuat body gitar secara terkomputerisasi. Harga mesin itu di atas Rp 100 juta.

IDEALISME MEMAJUKAN INDUSTRI GITAR
Setelah itu, Stranough pun beranjak besar. Namanya mulai beredar di kalangan pecinta gitar di seuruh Indonesia sampai ke para musisi. Sampai ia mulai mendapat pesanan dari gitaris terkenal Indonesia seperti Baron dari grup musik GIGI dan Alfa dari Boomerang.
Tak hanya menjuakl produk, Hanung memiliki idealisme lain. Sejauh pengamatannya, selama ini tak ada standardinasi yang jelas untuk gitar custom. Ini memang cukup sulit mengingat sifat gitar custom yang tailor made. Selain itu, banyak pula pencinta gitar yang tak terlalu paham, “Di mana sih sebetulnya servis? Atau, kalau part gitar ada yang hilang, harus cari ke mana? Orang-orang rata-rata membeli gitar ke toko-toko besar. Tapi kalau untuk servis atau konsultasi kan tak bisa kesana” ujarnya.
Hanung kemudian membangun website resmi untuk gitar custom. Ia membuat daftar yang paling umum untuk gitar custom plus pilihan-pilihan upgrading-nya. Hanung juga melakukan standardisasi penamaan part gitar, supaya lebih mudah dalam menyebutkannya. Ia dan timnya juga menyediakan diri untuk melakukan konsultasi gitar online secara gratis.
Pesanan untuk pembuatan, servis, dan modifikasi datang dari seluruh indonesia dan luar negeri. “Bahkan orang dari Kuala Lumpur saja mengirim gitarnya untuk diservis di Stranough karena disana memang tidak ada” kata Hanung. Fakta bawa gitar buatannya dipesan pembeli dari luar negeri menunjukkan kualitas produknya bisa bersaing di pasar internasional. Lucunya, orang indonesia sering menganggap remeh kayu mahoni yang berasal dari dalam negeri dan lebih suka pada alder atau white ash. “Padahal di luar negeri seperti Eropa justru kayu mahoni itu yang paling di gemari,” kata Hanung.
Ia kemudian mendapat pinjaman Rp275 juta dari bank untuk mendirikan pabrik seluas 350 meter persegi di Sindanglaya itu. Selain membuat gitar, ia juga memperluas produksi ke hard case, display case, soft case dan flight case untuk melindungi body gitar. Untuk unit baru ini pesanannya sudah mencapai 100 buah per bulan.
Hanung melihat pemain di industri gitar dalam negeri masih belum percaya diri masuk ke pasar internasional. “Karenanya, idealisme saya sudah menunjukkan industri gitar dalam negeri bahwa kita tak kalah bersaing dengan produk luar,” ujarnya.

Sumber : www.semuasaudara.com

Baca Juga :
- Kisah Sukses Pendiri Kebab Turki Baba Rafi
- Menjadi Juragan Kambing
- Atim, Ekspor Ijuk Sampai Taiwan
- Dimulai Bukan Dihitung

11 Oktober 2009

Kisah Sukses Pendiri Kebab Turki Baba Rafi

Satu lagi anak muda Surabaya menorehkan prestasi besar. Dia adalah Hendy Setiono, presiden direktur Kebab Turki Baba Rafi. Prestasinya tidak hanya diakui di dalam negeri, tapi juga di mancanegara. Mengapa?

Wajah dan penampilannya masih layaknya anak muda. Siang itu, dia berkemeja batik cokelat dipadu celana hitam. Cukup sederhana. Tak tecermin tampang seorang bos dari perusahaan beromzet lebih dari Rp 1 miliar per bulan.

Itulah penampilan sehari-hari Hendy Setiono, Presdir Kebab Turki Baba Rafi Surabaya. Oleh majalah Tempo edisi akhir 2006, dia dinobatkan sebagai salah seorang di antara sepuluh tokoh pilihan yang dinilai mengubah Indonesia. Tentu, sebuah pengakuan yang membanggakan bagi Hendy. Apalagi, bisnis yang dia geluti tergolong bisnis yang tak akrab di telinga. Usianya pun masih 23 tahun! Wow, masih sangat muda untuk seorang bos yang memiliki 100 outlet di 16 kota di Indonesia.

Dengan ramah, pria kelahiran Surabaya, 30 Maret 1983, tersebut mempersilakan Jawa Pos masuk ke kantornya di Ruko Manyar Garden Regency, kawasan Nginden Semolo. “Biasanya saya masuk kantor agak siang. Tapi, karena hari ini ada janji dengan Anda, saya agak meruput datang ke kantor,” ujar Hendy mengawali perbincangan.

Ketika itu, jarum jam sudah menunjuk pukul 11.00. Bagi Hendy, pukul 11.00 masih terbilang pagi karena biasanya dirinya baru masuk kantor lebih dari pukul 12.00.

Dia lalu menceritakan awal mula bisnis kebab yang digelutinya tersebut. Kebab adalah makanan khas Timur Tengah (Timteng) yang dibuat dari daging sapi panggang, diracik dengan sayuran segar, dan dibumbui mayonaise, lalu digulung dengan tortila. Sebenarnya, kebab banyak beredar di Qatar dan negara Timteng lainnya.

Namun, kata Hendy, kebab paling enak adalah dari Istambul, Turki. Karena itu, dia menggunakan “trade mark” Turki untuk menarik calon pelanggan.

Hendy mengisahkan, pada Mei 2003, dirinya mengunjungi ayahnya yang bertugas di perusahaan minyak di Qatar. Selama di negeri yang baru sukses melaksanakan Asian Games itu, dia banyak menemui kedai kebab yang dijubeli warga setempat. Lantaran penasaran, Hendy yang mengaku hobi makan itu lantas mencoba makanan yang lezat bila dimakan dalam kondisi masih panas tersebut. “Ternyata, rasanya sangat enak. Saya tak menduga rasanya seperti itu,” ungkap sulung dua bersaudara pasangan Ir H Bambang Sudiono dan Endah Setijowati tersebut.

Tak hanya perutnya kenyang, saat itu di benak Hendy langsung terbersit pikiran untuk membuka usaha kebab di Indonesia. Alasannya, selain belum banyak usaha semacam itu, di Indonesia terdapat warga keturunan Timteng yang menyebar di berbagai kota.

“Orang Indonesia juga banyak yang naik haji atau umrah. Biasanya, mereka pernah merasakan kebab di Makkah atau Madinah. Nah, mereka bisa bernostalgia makan kebab cukup di outlet saya,” jelasnya.

“Makanya, selama di Qatar, saya juga memanfaatkan waktu untuk berburu resep kebab. Saya mencarinya di kedai kebab yang paling ramai pengunjungnya,” jelas Hendy yang beristri Nilamsari, 23, dan kini sudah dikaruniai dua anak, Rafi Darmawan, 3, dan Reva Audrey Zahifa, 2, tersebut.

Begitu tiba kembali di Surabaya, dia langsung menyusun strategi bisnis. Yang pertama dilakukan adalah mencari partner. Dia tidak ingin usahanya asal-asalan. Dia kemudian bertemu Hasan Baraja, kawan bisnisnya yang kebetulan juga senang kuliner. Awalnya, mereka sengaja melakukan trial and error untuk menjajaki peluang bisnis serta pangsa pasarnya.

“Ternyata, resep kebab dari Qatar yang rasa kapulaga dan cengkehnya cukup kuat tidak begitu disukai konsumen. Ukurannya pun terlalu besar. Makanya, kami memodifikasi rasa dan ukuran yang pas supaya lebih familier dengan orang Indonesia,” katanya.

September 2003, gerobak jualan kebab pertamanya mulai beroperasi. Tepatnya di salah satu pojok Jalan Nginden Semolo, berdekatan dengan area kampus dan tempat tinggalnya.

Mengapa gerobak? Hendy mempunyai alasan. “Membuat gerobak lebih murah daripada membuat kedai permanen. Tidak perlu banyak modal. Gerobak pun fleksibel, bisa dipindah-pindah,” ujarnya.

Soal nama kedainya Baba Rafi, dia mengaku terinspirasi nama anak pertamanya, Rafi Darmawan. “Diberi nama Kebab Pak Hendy kok tidak komersial,” katanya lalu tergelak.

Saat itulah terlintas di benaknya nama si sulung, Rafi. “Kalau dipikir-pikir, pakai nama Baba Rafi, lucu juga rasanya. Baba kan berarti bapak, jadi Baba Rafi berarti bapaknya Rafi.”

Mengawali sebuah bisnis memang tidak mudah. Apalagi untuk meraih sukses seperti sekarang. Suka duka pun dirasakan calon bapak tiga anak itu. “Misalnya, uang berjualan dibawa lari karyawan. Banyak karyawan yang keluar masuk. Baru beberapa minggu bekerja sudah minta keluar,” ungkapnya.

Bahkan, pernah suatu hari, karena tak mempunyai karyawan, Hendy dan istri berjualan. Hari itu kebetulan hujan. Tak banyak orang membeli kebab. Makanya, pemasukan pun sedikit. “Uang hasil berjualan hari itu digunakan membeli makan di warung seafood saja tak cukup. Wah, itu pengalaman pahit yang selalu kami kenang,” ujarnya.

Tak ingin setengah-setengah dalam menjalankan bisnis, lulusan SMA Negeri 5 Surabaya tersebut akhirnya memutuskan berhenti dari bangku kuliah pada tahun kedua. “Saya OD alias out duluan. Tapi, saya tidak menyesal meninggalkan bangku kuliah untuk membangun usaha,” tegas Hendy yang pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Teknik Informatika ITS tersebut.

Keputusan dia untuk meninggalkan bangku kuliah guna menekuni bisnis kebab tersebut sempat ditentang orang tuanya. Mereka ingin Hendy menjadi orang kantoran seperti ayahnya. Karena itu, ketika dia meminta bantuan modal, orang tuanya menganggap bisnis yang akan dilakoni tersebut adalah proyek iseng. “Mereka pikir saya tidak serius pada bisnis itu. Dalam hati, saya ingin membuktikan kepada bapak dan ibu bahwa kelak saya pasti berhasil,” jelasnya.

Yang luar biasa, kesuksesan bisnis Hendy tak perlu waktu lama. Hanya dalam 3-4 tahun, dia berhasil mengembangkan sayap di mana-mana. Bahkan, hingga pengujung 2006, pengusaha muda tersebut mencatat telah memiliki 100 outlet Kebab Turki Baba Rafi yang tersebar di 16 kota di Indonesia. Tidak hanya di Jawa, tapi juga di Bali, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.

Ke depan, Hendy berencana mengembangkan usahanya itu ke luar negeri. Dua negara yang diincar adalah Malaysia dan Thailand. “TV BBC London dan majalah Business Week International pernah meliput usaha saya tersebut. Setelah itu, ada orang yang menawari saya membuka outlet di Trinidad & Tobago serta Kamboja,” jelasnya.

Sukses bisnis kebab waralaba Hendy itu juga menghasilkan berbagai award, baik dari dalam maupun luar negeri. Di antaranya, ISMBEA (Indonesian Small Medium Business Entrepreneur Award) 2006 yang diberikan menteri koperasi dan UKM. Hendy juga ditahbiskan sebagai ASIA’s Best Entrepreneur Under 25 oleh majalah Business Week International 2006. Untuk meraih award tersebut, dia bersaing dengan 20 kandidat pengusaha lain dari berbagai negara di Asia.

Pria kalem itu juga mendapatkan penghargaan Citra Pengusaha Berprestasi Indonesia Abad Ke-21 yang dianugerahkan Profesi Indonesia. Kemudian, penghargaan Enterprise 50 dari majalah SWA untuk 50 perusahaan yang berkembang dalam setahun terakhir. Serta, di pengujung 2006, majalah Tempo menobatkan Hendy menjadi salah seorang di antara sepuluh tokoh pilihan yang mengubah Indonesia.

Apa yang akan dilakukan Hendy selain mengembangkan usahanya ke mancanegara? Tampaknya, dia ingin seperti raja komputer, Bill Gates. “Saya belajar dari para pengusaha sukses. Salah satunya, Bill Gates. Dia bisa mendirikan kerajaan Microsoft, meski tidak tamat sekolah. Jadi, intinya, untuk menjadi orang sukses, tidak harus memiliki gelar akademis dan indeks prestasi (IP) tinggi,” tegasnya lalu tertawa. []

Original posted by: Jawa Pos

Baca Juga :
- H Endang Pengusaha Kue Kering Tahan Banting
- Idealisme Yang Berbuah Manis
- Menjadi Juragan Kambing
- Atim, Ekspor Ijuk Sampai Taiwan

H Endang : Pengusaha Kue Kering Tahan Banting

Sudah 18 tahun H. Endang menggeluti usaha kue kering dengan jatuh bangun. Dengan pengalamannya selama itu, dia tak gentar menghadapi persaingan yang terasa kian keras.

Awalnya, H. Endang termasuk pedagang serabutan. Dia jualan apa saja, yang dianggapnya menguntungkan. Sekali waktu jualan ikan, lain waktu ganti kerupuk, dan sebagainya. Cara berdagang seperti itu, boleh jadi menguntungkan. Tapi, sifatnya tidak pasti. Bahkan hampir mustahil dikembangkan.


Suatu ketika, sang isteri iseng membuat kue nastar dan membawanya ke pasar. "Sedikit, cuma menghabiskan setengah kilo tepung terigu," kenang Endang. Tapi, ternyata, nastar itu langsung habis terjual. Hari berikutnya, habis lagi, walaupun jumlahnya ditambah.

Lantas, otak bisnis Endang pun berputar, dan memutuskan untuk berkonsentrasi menggarap usaha kue kering, yang dimulai dengan nastar itu. "Saya begitu yakin, usaha ini menjanjikan," tandasnya, "Karena itu, kami bertekad menggarapnya dengan serius. Tidak akan ada lagi istilah gonta-ganti dagangan."

Menggunakan sepeda motor, Endang pun bergerak menawarkan kue yang dibuat bersama istrinya, ke toko-toko. Tidak seperti ketika menjual dalam jumlah sedikit yang selalu langsung habis, kali ini Endang harus bekerja keras agar kuenya diterima oleh toko dan agen.

Lima tahun lamanya, Endang berjibaku memasarkan kuenya, dengan hasil yang masih jauh dari harapan. Titik terang mulai terlihat, ketika dia menembus agen besar yang mempunyai jaringan pemasaran luas, hingga ke berbagai supermarket di Depok, Jawa barat, seperti Ramayana, Goro, Hero serta Gelael. Bahkan, juga melalui agen, kue kering Endang yang diberi merek "Selera" itu, sampai ke daerah Bekasi, Tangerang dan Bogor.

Dari hasil penjualan, H. Endang menyisihkan untuk menambah aset perusahaan. Rumah di Depok yang dulunya kontrak, kini milik sendiri dan cukup luas untuk produksi. Peralatan ditambah. Sebuah kendaraan roda empat, dibeli untuk memperlancar kegiatan operasional.

Dalam soal keuangan, Endang berpinsip, "Kalau semua bahan baku sudah terbeli, di tangan masih ada uang, barulah saya belanjakan untuk menambah aset. Dengan demikian saya selalu terbebas dari utang," papar lelaki asal Garut, Jawa Barat ini.

Sedangkan untuk menjaga mutu kuenya, dia sangat menghindari bahan pengawet. "Saya juga melakukan kontrol langsung ke toko dan supermarket tempat kue dijajakan," ujarnya. Meskipun kuenya kuat sampai dua bulan, jika seminggu ada yang belum laku, Endang langsung menariknya. Dengan kontrol ketat itu, Endang bisa memastikan bahwa produk yang dijual ke konsumen, masih dalam keadaan baik. Untunglah, jumlah produk yang ditarik, rata-rata hanya sekitar 10 persen.

Setiap menjelang lebaran, merupakan masa panen besar bagi Endang. Sehari, produksinya bisa menghabiskan 100 sak tepung terigu. Harga jual lima jenis kue keringnya Rp 3.750 per bungkus, atau Rp 11 ribu per stoples.

Ketika badai krismon datang, usaha Endang terguncang. Produksinya merosot tajam, hingga pernah hanya menghabiskan satu sak tepung terigu sehari. Terlebih, belakangan ini, muncul kecenderungan supermarket membuat kue sendiri, dan hanya sedikit saja menerima kue dari luar.

Sebagai langkah alternatif, sekarang ini H. Endang banyak mengarahkan pemasarannya ke daerah lain, terutama di pinggiran Jakarta. "Di sana, kue kami kembali menemukan pasar yang baik," ujar Endang, lega, "Sekarang, seluruh pemasaran, saya konsentrasikan ke daerah pinggiran itu."

Kalau dihitung-hitung, 18 tahun sudah Endang menggeluti usaha kue kering. Selama itu pula, dia bergulat dengan berbagai tantangan. Pantas saja, kalau dia menjadi tahan banting.

Sumber: Wacana Mitra Boga Sari


Silahkan Baca :
- Kisah Sukses Pendiri Kebab Turki Baba Rafi
- Reza, Tutup Kloset Kuasai 18 Negara
- Atim, Ekspor Ijuk Sampai Taiwan
- Sang Resiko