19 Januari 2010

Jabatan Manajer Ditinggalkan, Rugi Rp250 Juta Bangkit bersama Lele

Shandy Stevan meninggalkan jabatan manajer di hotel bintang empat, beralih ke usaha budidaya ikan. Ia pernah berjaya, tapi pernah juga terpuruk rugi sampai Rp250 juta. Tak punya modal, ia turun mencangkul sendiri membuat kolam ikan.

Siang itu Shandy Stevan tampak bersahaja. Penampilannya sekarang beda 180 derajat dengan beberapa tahun silam. Dulu, pria ini selalu tampil rapi karena ia sebagai Night Duty Manager di hotel berbintang empat di Batam. Saat kerja di hotel, kadang tamu-tamu hotel suka minta dilayani.

”Minta dicarikan teman ngobrol. Mau tak mau harus dilayani. Saya telpon penyedianya. Mau yang kayak gimana, belasan tahun, semuanya ada, tinggal telepon. Tapi setelah punya anak, hati saya berontak, makanya saya pilih keluar dan usaha sendiri,” ujar lulusan Sekolah Tinggi Bahasa Asing.

Usaha budidaya ikan Pondok Tibelat (sesuatu yang tak bisa dilupakan-red) di Sei Temiang bermula dari usaha ikan lele coba-coba di rumahnya di Legenda Malaka dengan kolam lele ukuran 14 meter persegi. Usahanya berhasil, hanya tiga bulan panen 1 ton lele. Tidak lama setelah itu ia mengalihkan usahanya ke Rindu Alam, depan perumahan Mediterania karena mendapat investasi dari orang Singapura Rp100 juta.

Panen pertama berhasil. Iapun mengembangkan usaha kolamnya, dari 8 kolam menjadi 30 kolam ikan lele dengan dana tambahan dari hasil menjual rumah yang ditinggalinya. ”Kalau ditotal habis Rp250 juta untuk 30 kolam ikan di Rindu Alam,” ujarnya.

Tapi sayang, panen ke dua dan selanjutnya gagal total. Penyebabnya hama alam, seperti ular, burung pemangsa ikan dan hama ”kepala hitam”. ”Mereka mencuri ikannya sebelum kita memanennya. Ternyata anak buah saya sendiri pelakunya,” ujar pria asal Bandung, Jawa Barat.

Usahanya kian terpuruk saat ada penggusuran di Rindu Alam.

Iapun memindahkan 150 ribu ikan lelenya ke Barelang, jembatan IV dengan menyewa lahan pada seseorang. Di sana ia membangun kolam ikan lagi. Investor Singapura mau kucurkan dana Rp1 miliar. Sayangnya, dana itu tidak cair karena lahannya bermasalah. Usaha kolam ikan di Barelang cuma berjalan enam bulan. Musibah kembali datang, satu pekan sebelum panen anak buahnya kabur setelah memanen ikan lelenya.

”Untunglah saya punya mantan pacar (istri-red) yang baik. Kalau tidak ada dia, mungkin waktu itu saya jadi gila. Sudah habis-habisan sampai jual rumah, jual kendaraan, tapi tidak ada hasil,” ujarnya.

Di saat kebingungan itu, tiba-tiba ia teringat. Dulu saat digusur dari Rindu Alam ia dijanjikan Otorita Batam akan mendapatkan lahan pengganti. Ia ke OB dan langsung dapat lahan di Sei Temiang, tempat usahanya sekarang. Karena habis modal, iapun turun mencangkul sendiri untuk membuat kolam ikan. Di atas lahan 2 hektare itu, sekarang ada 27 kolam. Kolamnya berisi berbagai macam ikan, ada lele, nila, gurame, bawal tawar, ikan mas, patin, ikan hias dan ikan koi.

”Sekarang, Alhamdulillah satu bulan bisa panen 1,5 ton lele, 500 kg ikan emas, 300 kg ikan gurame, 500 kg ikan Nila,” ujarnya.

”Hasilnya bisa 5-6 kali lipat gaji manajer hotel dulu,” ujarnya.

Steven tidak hanya menjual ikan-ikan yang siap dikonsumsi, tapi juga menjual bibit ikan. Menurutnya justru 70 persen penghasilannya berasal dari penjualan bibit ikan. ”Kalau bibit ikan bisa setiap hari jual, kalau panen ikan sebulan sekali,” ujarnya.

Selain itu, kolam ikannya juga dikembangkan sebagai tempat pemancingan. Di kolam lainnya ia membangun saung untuk tempat beristirahat.

”Saya ada kerjasama dengan hotel, jadi para turis bisa datang ke sini. Mereka bisa menikmati suasana kampung,”ujarnya.

Kolam ikannya juga sering dikunjungi anak TK. Anak-anak itu pulang membawa bibit ikan, satu ikannya dijual Rp2500. Selain usaha ikan, Steven juga pernah usaha ternak ayam potong, tapi kolaps karena jatuhnya harga ayam gara-gara ada flu burung. Ia juga pernah usaha lembaga kursus. Tapi ditipu rekan kerjanya dan modal investasi sebesar Rp30-an juta -pun menguap.

Punya pengalaman berkali-kali dikhianati rekan kerja dan anak buah, kini usaha kolamnya dipantau sendiri 24 jam. Steven memilih tinggal di dekat kolam. ”Kerja seperti ini 24 jam. Apalagi pas hujan malam hari. Kita harus turun untuk membuka kolam, supaya tidak banjir,” katanya.

Steven tidak hanya tinggal sendiri, tapi ditemani istrinya Nur Hafsah, mantan manager front office hotel berbintang di Batam. Juga bersama lima anaknya Gita (9), Karin (7), Jason (6), Caroline (2) dan si jabang bayi. Karena senang tinggal di kolam, rumahnya di Anggrek Mas dan Taman Lestari ia kontrakan ke orang lain. ”Tinggal di sini enak, kekeluargaan dengan tetangga tinggi. Beda sekali dengan di perumahan. Sama tetangga kiri kanan tidak saling kenal,” ujarnya.
(Sumber : Batam Pos)


Baca Juga :
- Peluang Usaha Bebek Presto
- Kapan Kita Boleh Menyerah?
- Kisah Sukses Reza Malik Pengusaha Roti Riz – Oy
- Bodol Botol dan Bobol

07 Januari 2010

Kapan Kita Boleh Menyerah?

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

”Habis gelap, terbitlah terang,” demikian Ibu Kartini memesankan. Setiap situasi sulit, pasti ada akhirnya. Masalahnya, kita sering tidak tahu kapan kesulitan itu akan berakhir sehingga tidak mudah untuk memutuskan apakah harus menyerah dan berhenti sampai disini saja, ataukah kita mesti bertahan ’sebentar’ lagi? Jika berhenti, boleh jadi kita kehilangan momentum karena bisa saja sebenarnya kita sudah berada pada ’detik-detik’ menjelang akhir itu. Tapi, kalau harus terus, sampai kapan?

Anda tentu tahu bahwa kemajuan teknologi memungkinkan kita menggunakan ban mobil tanpa ban dalam. Ban sejenis itu bernama ’Tubeless Tyre’. Namun, lidah ketimuran kita lebih mudah menyebutnya sebagai ban cubles, alias ban tanpa ban dalam. Kekaguman saya terhadap ban cubles seolah tidak pernah habis-habisnya. Pertama karena dia mengajari kita untuk mengubah paradigma. Semula, yang namanya ban, ya mutlak mesti ada ban dalam. Jadi, tanpa ban dalam, ban tidak bisa dipompa. Ban cubles mengenalkan kita kepada paradigma baru bahwa tanpa ban dalam pun ternyata kita bisa mendapatkan fungsi ban sebagaimana mestinya.

Jika hari ini kita bisa mengubah paradigma tentang ban yang ternyata tidak harus selalu memiliki ban dalam, mungkinkah kita juga mengubah paradigma kita tentang hidup? Misalnya, kita sering percaya bahwa untuk bisa berhasil kita mesti memiliki ’ini dan itu’. Tanpa semua ’ini dan itu’ itu, tidaklah mungkin kita berhasil. Jika hingga saat ini kita belum juga berhasil, barangkali bukan karena kita tidak memiliki ’ini dan itu’ itu. Sebab, ban cubles itu sudah menunjukkan bahwa tanpa ban dalam pun dia tidak kehilangan fungsinya sebagai ban. Boleh jadi, paradigma lama telah menjadikan pandangan kita agak gelap. Sehingga kita tidak melihat kemungkinan lain untuk berhasil, selain semua ’keharusan’ dan ’persyaratan’ yang kita buat sendiri itu.

Kekaguman saya berikutnya pada ban cubles adalah pada daya tahannya. Beberapa kali ban mobil saya terkena paku. Namun, ban cubles itu tidak pernah mengecewakan saya. Jika ban tradisional terkena paku, maka pada detik itu juga akan langsung gembos. Dia bisa meledak dengan bunyi yang sanggup menggetarkan jantung hingga nyaris copot. Bahkan, jika itu terjadi disaat kendaraan melaju kencang, bisa menyebabkan kecelakaan. Tapi, ban cubles tidak demikian. Seperti yang saya alami dimusim liburan tahun ini. Saya sedang berada diluar kota ketika mendapati ban mobil kami kempes. Karena kebanyakan orang sedang mudik, maka sebagian besar tambal ban pada tutup. Ketika ada satu yang masih buka, saya tidak bisa berharap banyak karena perlengkapan yang dimilikinya tidak memungkinkan untuk membongkar ban. Praktis yang bisa dilakukannya hanya menambah angin saja. Dengan ijin Tuhan, saya berhasil menyelesaikan perjalanan sekitar 200 kilometer dengan nyaman dan aman.

Keesokan harinya, saya membongkar ban itu. Benar saja, ada paku ulir yang tertancap disana. Saya kagum karena ban cubles itu tidak langsung meledak saat tertusuk paku. Saya lebih kagum lagi karena ada paku lain yang menancap dibagian lainnya. Bahkan terkena dua paku pun dia tidak mengeluh. Dan saya lebih kagum lagi karena ternyata ada satu paku lainnya lagi yang menghunjam kedalam ban itu. Saya tidak habis pikir, bagaimana ban itu bisa bertahan sedemikian kuatnya padahal kedalam tubuhnya ditancapkan tiga buah paku tajam.

Ketahanan semacam ini yang barangkali jarang dimiliki oleh manusia seperti kita. Kita sering terlalu cengeng untuk bisa memendam rasa pedih dan perih ini. Lalu memilih untuk berhenti daripada terus berlari seiring dengan perputaran roda kehidupan ini. Sedangkan ban cubless itu. Dia bertahan dalam nyeri itu sedemikian tenangnya sehingga dalam keadaan terluka oleh tiga buah pakupun tiada mengeluh. Dia tidak mejerit-jerit. Dia tidak beteriak-teriak, apalagi sampai meledak. Dengan tubuh penuh luka itu, dia tabah memikul beban dipundaknya, kemudian terus berlari mengimbangi gerakan roda-roda lainnya.

Mari sekali lagi kita bandingkan, apakah sikap kita lebih mirip ban tradisional yang langsung gembos ketika tertusuk paku kecil sekalipun. Lalu merengek mogok dan meminta berhenti. Atau, mungkin kita sudah memiliki ketangguhan, katabahan, dan ketahanan tingkat tinggi seperti yang dimiliki oleh ban cubles itu. Memang, kita tidak pernah tahu kapan terang itu akan terbit. Seperti halnya kita tidak tahu, kapan tempaan ini akan berakhir dalam penyelesaian yang indah. Namun, jika kita memiliki sikap seperti ban cubles itu; setidak-tidaknya, kita tidak mudah dibuat menyerah. Ban cubles itu baru akan menyerah setelah tak ada lagi udara yang sanggup ditahannya didalam. Seolah dia berprinsip; ”sampai tetes udara penghabisan.” Seperti semboyan yang selalu dikatakan para pejuang sejati:”sampai titik darah penghabisan.” Sehingga, selama hayat masih dikandung badan, mereka tidak akan berhenti berjuang.

Andai saja kita bisa meniru ban cubles itu. Mungkin, kita bisa menjadi pribadi-pribadi yang tangguh. Dengan sikap tidak mudah menyerah itu, kita mempunyai peluang untuk tiba diakhir gelap, agar bisa menikmati terang. Sebab, sehabis gelap, terbitlah terang. Karena dalam setiap kesulitan, selalu ada kemudahan. Mudah-mudahan.
Mari Berbagi Semangat!

Dadang Kadarusman
Natural Intelligence & Mental Fitness Learning Facilitator
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Kita tidak pernah tahu sampai sebatas apa bisa bertahan, sebelum benar-benar membuktikan bahwa kita bisa bertahan hingga dibatas itu.

Baca Juga :
- Memulai Langkah Pertama
- Anda Harus Berhenti Berdalih
- Peluang Usaha Bebek Presto
- Berani Gagal