17 Oktober 2009

Idealisme Yang Berbuah Manis

Muda dan penuh kenyakinan, beitulah sosok M Satria Nugraha, pendiri Stranough Entreprise. Stranough membuat gitar akustik secara custom mode atau gitar yang dirancang khusus untuk sang pembeli layakna kita pergi ke tukang jahit. Hanung, demikian nama pangglian lelaki 27 tahun ini, baru saja terpilih sebagai salah satu wirausahawan muda terbaik pada Dji Sam Soe Award 2009.
Selain mengarungi pasar nasional, gitar stranough sudah dieksport ke Belanda, Australia, Jepang, Singapura, Malaysia, dan Amerika. Pabriknya yg berlokasi di Sindanglaya, kabupaten Bandung Timur, memproduksi 250 buah gitar per-bulan. Omzetnya kini mencapai Rp 3 milyar per tahun.


Sebetulnya, tak ada latar belakang wirausaha di keluarganya yang menetap di Semarang ini. Ayahnya seorang dokter dan berharap Hanung pun mengikuti jejaknya menjadi dokter. Namun Hanung tak berminat. Sejak SD, ia menunjukan hasratnya pada musik, khususnya gitar. Ketika duduk di bangku SMP, ia kerap ingin main band bersama teman-teman. ”Kepengen-nya sih jadi musisi, tapi enggak kesampaian,” ujarnya sambil ketawa.
Mesti beasal dari keluarga dengan latar belakang pendidikan tinggi, Hanung mengaku kehidupannya tak berlebihan. Karena itu, ia kerap tak berani meminta uang untuk membeli hal-hal yang mungkin akan dianggap tidak penting oleh orang tuanya, termasuk gitar. Jadi, ia hanya bisa meminjam gitar temannya.
Ketika lulus SMA pada 2000, Hanung memutuskan ingin kuliah di Bandung, dimana pun sekolahnya. Ia tertarik karena Bandung kota kreatif. Hanung kemudian kuliah di Teknik Industri di Institut teknologi Nasional (Itenas). Saat kuliah, ia belum juga memliki gitar, di sisi lain, Hanung seorang yang idealis dan mau serba yang terbaik. “Harga gitar yang saya mau Rp19-an juta. Ha-ha-ha….,” ujarnya. Gitar itu mahal karena termasuk artist series. Ia kemudian minta uang kepada orang tuanya. Tentunya, ia tidak bilang mengenai harga gitar impiannya itu. Berapa saja yang mau diberikan orang tuanya, ia terima. Ternyata orang tuanya memberinya dana Rp 2 juta.
Hanung kemudian banyak melakukan riset lewat internet tentang bermacam spesifikasi gitar. Ia benar-benar ingin memaksimalkan uang yang dimilikinya untuk mendapatkan yang terbaik. Setelah hampir setahun meriset, Hanung akhirnya mendatangi sebuah tempat perajin gitar di Bandung. Tempat itu sangat sederhana dan pengerjaannya dilakukan secara tradisional. Ia memaparkan spesifikasi gitar seperti apa yang diinginkannya. Para perajin itu kaget karena Hanung ternyata tau lebih banyak dari mereka.
“Mereka selama ini hanya membuat gitar dan servis secara tradisioal sesuai dengan yang diwariskan dari kakeknya secara turun menurun. Bayarannya untuk sevis saja kadang cuma rokok. Jadi, keterampilan mereka seperti tidak terlalu di hargai,” ujar Hanung.
Melihat kondisi itu, Hanung terpikir untuk menjadikannya sebagai bisnis yang lebih profesional. Iseng-iseng ia menawari perajin itu bekerja dengannya dan nanti ia pula yang menjualkan. Tak di sangka, para pengrajin itu setuju. ”Saya juga kaget ketika mereka mau. Tapi ya sudahlah, kenapa tidak seriusi saja,” kata Hanung.
Pada 2003, ia mulai membuat rencana bisnis. Masalahnya ia tak punya modal. Hanung pun kembali menghubungi orang tuanya untuk minta bantuan dana. Ketika ia bilang mau berbisnis membuat gitar, orang tuanya tak setuju dan serba ragu akan pilihan itu. Setelah beberapa waktu, ia kembali membujuk orang tuanya. Kali ini ia mengatakan butuh dana untuk belajar sesuatu yang tidak bisa diperolehnya dari bangku kuliah. Akhirnya, orang tuanya melunak dan memeberinya uang Rp 7 juta.
Berbekal uang itu, Hanung menyewa sebuah rumah kecil di kawasan Jalan Suci, Bandung. ”Rumahnya seperti kandang kuda, kecil dan semua terbuat dari kayu,” ujanya mengenang. Lantai duanya disewakannya lagi untuk kos-kosan, sedangkan lantai dasar untuk usaha gitar. Proses produksi dilakukandihalaman belakang rumah.
Hanung memulai usahanya bersama tia orang perajin. Di masa-masa awal usahanya, ia hanya mendapat pesanan satu gitar per bulan. Hanung kemudian melakukan pemasaran melalui internet secara lebih serius, apakah itu melalui website ataupun komunitas-komunitas musik. Pertumbuhan usahanya masih merangkak pelan.
Awal 2005, barulah Hanung mendapat e-mail dari calon pembelidi Singapura, Australia, dan Belanda. Sejak awal, Hanung telah menjelaskan bahwa usahanya kecil dan belum pernah menerima pesanan dalam jumlah besar. Ternyata pembeli dari Belanda tampak serius. Mereka minta dibuatkan gitar dengan spesifik tertentu. Hanung membuatnya sesuai dengan permintaan dan mengirimkan fotonya. Ternyata mereka suka dan minta dikirimi sampel aslinya ke Belanda.
Waktu itu, Hanung betul-betul tak tahu seberapa nyata pembeli dari Belanda itu. Namun ia nekat saja mengirimnya dengan paket kiriman luar negeri. “Setelah itu, saya telepon bapak dan bilang, eh saya sudah jual gitar ke luar negeri, lho. Padahal waktu itu saya juga belum tahu apa akan dibayar apa tidak,” ujar Hanung sambil tertawa.
Sikap optimisnya itu ternyata berbuah manis. Sebulan kemudian, perusahaan dari Belanda itu kembali mengirim e-mail. Mereka menyatakan sangat senang dengan sampel gitar yang dikirim dan ingin menjajaki kerja sama lebih jauh. Lagi-lagi dengan jujur Hanung menceritakan kondisi usahanya yang memang masih kecil. Karena sudah kadung jatuh cinta dengan gitar Stranough, bos besar perusahaan Belanda itu datang langsung ke Bandung untuk mengecek sendiri bengkel produksi stranough. ”Ia terkejut melihat tempat saya yang kecil,” kata Hanung.
Pertemuan itu ternyata berhasil mencapai kesepakatan akhir. Perusahaan dari Belanda melakukan pemesanan pertama 250 gitar. Itulah order besar pertama yang di peroleh Stranough. Bertepatan dengan itu, Hanung sedang mengerjakan skripsi. Ia sempat bingung menentukan prioritas. Pada akhir 2005, ia berhasil membereskan keduanya, pesanan gitar dan skripsi.
Hasil keuntungan order itu cukup besar. Hanung pun makin mantap menekuni bisnisnya. Apalagi kewajiban morilnya untuk menyelesaikan kuliah sudah ia penuhi. Ia kemudian bisa menyewa rumah yang sedikit lebih besar sebagai tempat usaha. Tak ingin setengah-setengah, Hanung membeli mesin Computer Numerical Control (CNC) untuk memuat body gitar secara terkomputerisasi. Harga mesin itu di atas Rp 100 juta.

IDEALISME MEMAJUKAN INDUSTRI GITAR
Setelah itu, Stranough pun beranjak besar. Namanya mulai beredar di kalangan pecinta gitar di seuruh Indonesia sampai ke para musisi. Sampai ia mulai mendapat pesanan dari gitaris terkenal Indonesia seperti Baron dari grup musik GIGI dan Alfa dari Boomerang.
Tak hanya menjuakl produk, Hanung memiliki idealisme lain. Sejauh pengamatannya, selama ini tak ada standardinasi yang jelas untuk gitar custom. Ini memang cukup sulit mengingat sifat gitar custom yang tailor made. Selain itu, banyak pula pencinta gitar yang tak terlalu paham, “Di mana sih sebetulnya servis? Atau, kalau part gitar ada yang hilang, harus cari ke mana? Orang-orang rata-rata membeli gitar ke toko-toko besar. Tapi kalau untuk servis atau konsultasi kan tak bisa kesana” ujarnya.
Hanung kemudian membangun website resmi untuk gitar custom. Ia membuat daftar yang paling umum untuk gitar custom plus pilihan-pilihan upgrading-nya. Hanung juga melakukan standardisasi penamaan part gitar, supaya lebih mudah dalam menyebutkannya. Ia dan timnya juga menyediakan diri untuk melakukan konsultasi gitar online secara gratis.
Pesanan untuk pembuatan, servis, dan modifikasi datang dari seluruh indonesia dan luar negeri. “Bahkan orang dari Kuala Lumpur saja mengirim gitarnya untuk diservis di Stranough karena disana memang tidak ada” kata Hanung. Fakta bawa gitar buatannya dipesan pembeli dari luar negeri menunjukkan kualitas produknya bisa bersaing di pasar internasional. Lucunya, orang indonesia sering menganggap remeh kayu mahoni yang berasal dari dalam negeri dan lebih suka pada alder atau white ash. “Padahal di luar negeri seperti Eropa justru kayu mahoni itu yang paling di gemari,” kata Hanung.
Ia kemudian mendapat pinjaman Rp275 juta dari bank untuk mendirikan pabrik seluas 350 meter persegi di Sindanglaya itu. Selain membuat gitar, ia juga memperluas produksi ke hard case, display case, soft case dan flight case untuk melindungi body gitar. Untuk unit baru ini pesanannya sudah mencapai 100 buah per bulan.
Hanung melihat pemain di industri gitar dalam negeri masih belum percaya diri masuk ke pasar internasional. “Karenanya, idealisme saya sudah menunjukkan industri gitar dalam negeri bahwa kita tak kalah bersaing dengan produk luar,” ujarnya.

Sumber : www.semuasaudara.com

Baca Juga :
- Kisah Sukses Pendiri Kebab Turki Baba Rafi
- Menjadi Juragan Kambing
- Atim, Ekspor Ijuk Sampai Taiwan
- Dimulai Bukan Dihitung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar