15 Maret 2011

Kegagalan : Hidup Menjadi Berwarna dan Bermakna

Seorang eksekutif sebuah perusahaan kelas dunia dengan dengan wajah kusut mengetuk pintu ruangan bosnya, yang beberapa waktu sebelumnya telah memanggilnya dengan tergesa-gesa. Keputusan bisnis yang diambilnya membuat perusahaan merugi besar. “Pasti bos akan memecat saya,” begitu ucapan putus asa sang eksekutif begitu dia duduk di seberang meja bos.
“Apa? Apakah saya tidak salah dengar? Barusan saya “menyekolahkan” Anda dengan biaya miliaran. Kenapa saya mesti memecat Anda?” tanggapan bos di luar dugaan eksekutif tersebut.

Kegagalan adalah suatu fakta, sebagaimana diilustrasikan di atas. Tetapi keadaannya bisa jauh lebih buruk atau lebih baik tergantung dari orang yang memaknainya. Ungkapan klise menyebut “kegagalan adalah sukses yang tertunda.” Ungkapan ini menjadi klise lantaran terlalu sering disebutkan sehingga yang terbawa hanya kulitnya, sedangkan isinya menguap entah kemana.



Hampir dipastikan setiap orang (bukan hanya pengusaha) telah mengalami kegagalan dalam hidupnya. Namun pengusaha memiliki risiko yang lebih besar untuk gagal karena sedari awal domain aktivitasnya adalah menantang sebuah risiko. Tetapi banyak bukti bahwa pengusaha yang sukses bukanlah orang yang tidak pernah gagal, melainkan orang yang berkali-kali gagal namun bisa memetik hikmah dari kegagalannya. Thomas Alfa Edison adalah pemegang hak paten dari ribuan produk. Namun di balik kesuksesan itu ia mengalami kegagalan ratusan bahkan ribuan kali. Di antaranya adalah gagalnya ia menetaskan telur yang ia erami sendiri.


Pernahkan kita mengira bahwa jalan sukses Konosuke Matsushita justru berawal dari kegagalannya memproduksi dan menjual fitting lampu. Dari bahan baku pembuatan fitting lampu yang terbengkalai itulah ia mengkreasikan tatakan kipas angin atas pesanan seorang temannya. Tatakan kipas, bagi Matsushita, sama ajaibnya dengan lampu milik Aladin, karena dari sanalah Panasonic bercikal bakal dan kemudian berkembang menjadi salah satu perusahaan papan atas dunia.

Richard Buckminster Fuller, adalah contoh orang yang gagal total: baik kehidupan finansial maupun kehidupan rumahtangganya, bahkan kehidupan spiritualnya. Di ujung kebangkrutannya yang menuntun ke arah keputusasaan Buckminster nyaris mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan diri di sebuah danau. Namun sesaat sebelum melakukan aksi nekad itu timbul kesadarannya melakukan hal-hal berharga bagi dirinya dan sesama, sekaligus meninggalkan semua kebiasaan buruknya. Dari sanalah muncul gagasan kreatifnya untuk membangun rumah yang murah sekaligus meriah sehinga bisa dijangkau oleh hampir sebagian besar masyrakat dengan mengembangkan konsep Kubah Geodesi. Konsep ini akhirnya berkembang pesat bukan hanya untuk rumah murah, tetapi juga untuk pabrik besar, tempat perbelanjaan mentereng, sampai wahana besar olah raga semisal stadion.

Belajar dari kegagalan ini juga yang dilakukan oleh Urpan Dani (PT Salsabila Rizky Pratama, eksportir kayu manis), Muhammad Nadjikh (eksportir ikan laut kelas wahid) dan Perry Tristianto Tedja (Raja Factory Outlet).

Urpan pernah ditipu pembeli kayu manisnya sebesar Rp250 juta, yang menurutnya sebagai “biaya sekolah.” Sedangkan Perry gagal mengembangkan konsep berjualan pakaian di perumahan-rumahan yang akhirnya mengilhaminya untuk menjual pakaian dengan konsep factory outlet. Sementara itu, pabrik pengolahan ikan Muhammad Nadjikh nyaris hanya berumur tiga bulan sebelum ia berhasil melakukan inovasi dan melakukan penetrasi pasar ke luar negeri, terutama Jepang. Kini karyawannya berjumlah ribuan orang.

Kini kenapa kita mesti takut gagal? Seperti sebuah lukisan kegagalan akan membuat kontras yang sangat tajam bagi kesuksesan. Dan itu membuat “lukisan” kehidupan kita lebih berwarna sekaligus bermakna. (Sukatna Panca M )

Source : majalahpengusaha.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar