31 Maret 2010

Memungut Pelajaran dari Sebuah Kegagalan

Tidak selamanya kegagalan memberi pengaruh negatif. Karena, hanya dengan kegagalan seseorang bisa merasakan beratnya beban psikologis dan finansial yang sesungguhnya sebagai modal penting untuk bisa kembali bangkit.

Memori Hengky Eko Sriyantono (35) masih cukup kuat untuk mengingat lagi satu persatu kegagalan yang pernah dialaminya. ”Saya pernah merasakan bagaimana pahitnya sepuluh kali gagal menjalankan bisnis,” ujar pria yang biasa di sapa Cak Eko ini membuka pembicaraan. Sepuluh kali pastilah bukan jumlah yang sedikit buat seorang Cak Eko muda yang punya keinginan kuat meretas menjadi pengusaha meski dengan segala keterbatasannya.



Ketika itu, Anda tentu tidak mendapati Cak Eko yang hidup dalam kemapanan dan kelimpahan materi. Melainkan sosok pemuda sederhana dengan gaya hidup pas-pasan. Ia pertama kali mengenal bisnis dalam kondisi kepepet. Selepas kuliah Cak Eko mencoba bisnis jual beli handphone seken. Usaha semacam ini, saat itu, belum banyak yang tertarik untuk menggeluti. Keuntungan yang didapat cukup besar maka ia bisa melenggang selama beberapa waktu. Tapi begitu banyak yang terjun dengan modal yang lebih besar usahanya makin seret dan ia memutuskan untuk meninggalkannya.

Setelah itu, satu persatu usaha yang coba dirintisnya pun ternyata gagal. Mulai dari menjajal bisnis MLM, usaha di bidang pertanian yakni tawaran bertanam jahe gajah, bisnis tas dan dompet hingga bisnis busana muslim yang ketika itu sedang tren. Tuhan rupanya masih belum memberi jalan. Cak Eko tidak menyerah. Tahun 2002 saat berada di Yogyakarta, secara tidak sengaja ia melihat miniatur sepeda dari kuningan. Insting bisnisnya bekerja: ”Kenapa tidak dicoba?” begitu pikirnya.


Selain sepeda, ia juga membuat miniatur becak yang selain di posting di website juga ditawarkan ke hotel-hotel bintang lima sebagai souvenir atau gift. Beberapa hotel sudah membeli, termasuk usahanya menitipkan barang di Pasaraya Sarinah. Barang yang dari Cak Eko dibanderol seharga seharga Rp90 ribu, di Sarinah bisa laku hingga Rp600 ribu! ”Tapi saat hendak ditagih pembayarannya susah sekali seperti orang ngemis-ngemis,” keluhnya. Padahal ia sendiri harus membayar pekerja sementara cash flow tidak lancar. “Akhirnya saya tutup, alat-alatnya saya jual,” tambahnya.

Kapok? Ternyata tidak. Awal tahun 2003 ia sempat membuka bisnis catering yang juga akhirnya gagal. Pria kelahiran 5 Mei 1974 ini banting setir mencoba bisnis franchise yang konon dianggap sebagai langkah pintas meraih kesuksesan dalam berbisnis. “Saya tertarik franchise makanan dengan tipe gerobak seharga Rp5 juta. Tiga bulan pertama omzetnya oke tapi bulan berikutnya langsung drop,” tutur Cak Eko. Hal ini karena makanan yang dijual hanyalah tren sesaat dan bukan kebutuhan tiap hari. Setahun kemudian, ia memutuskan mengandangkan gerobak tanpa pemberitahuan.

Keberuntungan justru Cak Eko dapatkan saat ia mencoba usaha bakso. Pada awalnya pihak keluarga tidak setuju. Karena jaman dulu berjualan bakso identik dengan mendorong gerobak dan itu yang membuat mereka malu. “Tapi saya merasa yakin, kali ini bakal berhasil,” kenangnya. Terbukti, kini ia sukses mengusung brand Bakso Malang Kota “Cak Eko” yang merambah di 28 kota dengan memiliki 106 gerai. Sebanyak 103 cabang dikelola dengan sistem waralaba.

Berkali-kali mencoba, berkali-kali pula gagal. Itulah yang terjadi pada pengusaha seperti Cak Eko. Jika gagal satu dua kali, mungkin tidak terlalu memukul mental si pengusaha. Tapi kalau sampai puluhan kali, jelas luar biasa. Jika bukan tidak memiliki mental wirausaha tahan banting bisa dipastikan sudah menyerah kalah sejak lama. Karena kegagalan tidak hanya berpengaruh pada sisi psikologis saja melainkan finansial. Kerugaian beruntn yang dialami akan menguras kondisi keuangan yang pada akhirnya sampai ke tahap bangkrut.

Sejatinya kegagalan dan kesuksesan itu ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Yang satu melengkapi yang lain. Tidak ada kesuksesan tanpa ada kegagalan. Gagal itu penting. Bahkan teramat penting. Mengapa? Karena kita tidak akan pernah memahami arti penting sebuah kesuksesan tanpa adanya proses kegagalan terlebih dahulu. Seorang pengusaha besar bahkan mengatakan “Jika Anda tidak pernah gagal dalam hidup, berarti Anda tidak pernah mengambil tindakan apapun untuk sukses”. Bahkan inilah yang disebut kegagalan sejati. Namun pertanyaannya, adakah orang yang tidak pernah gagal dalam hidup?

Sejatinya, memiliki perbendaharaan serta frame positif tentang kegagalan bisa menjadi salah satu benteng kokoh menghadapi serangan “virus kegagalan”. Sejarah mempunyai 1001 bukti. Banyak tokoh bisnis kelas dunia sukses bukan karena mereka tidak pernah gagal. Melainkan, bagaimana mereka merespon, berpikir, bertindak dan menyikapi kegagalan. Sikap itulah yang menghantarkan mereka mencapai puncak kesuksesan. Karena mereka berpikir, jatuh bangun merupakan psoses yang biasa dalam meraih kesuksesan.

Bicara kegagalan, rasanya kita perlu bercermin pada sosok pebisnis dunia asal negara Sakura, Matsushita Konosuke. Tidak banyak yang tahu ketika Matsushita mulai merintis usaha, salah satu produk yang dihasilkan yakni fitting lampu buatannya ternyata gagal! Namun bisnis tersebut mengantarnya memperoleh bisnis lain yang selanjutnya menjadi cikal bakal perusahaan Matsushita Electric.

Matsushita, ketika itu memilih keluar dari pekerjaannya meski memiliki posisi dan fasilitas yang tergolong mapan. Ia mencoba membuka perusahaan sendiri. Dengan dibantu dua rekannya Hayashi dan Morita serta adik ipar Toshio, Matsushita mencoba mengembangkan pabrik fitting lampu pada Juni 1917. Tapi apa yang terjadi? Ketika ia menawarkan fitting tersebut ke pengecer harga yang diperoleh tidak terlalu bagus. Untuk 1000 buah fitting hanya dihargai tidaklebih dari 10 yen. Belum lagi karena faktor perusahaan Masushita yang masih tergolong baru, membuat mereka ragu untuk bekerja sama.

Modal hampir habis, tapi bisnisnya belum juga menunjukkan titik terang. Ia belum menemukan barang elektronik apa yang tepat untuk dibuat. Sempat terpikir untuk kembali lagi ke perusahaan lama sebagai karyawan. “Mungkin sebaiknya aku balik lagi bekerja di Perusahaan Listrik Osaka. Tapi… nggak enak juga minta tolongnya,” pikirnya. Namun sebuah keajaiban terjadi. Tiba-tiba ia seorang pegawai dari perusahaan listrik mendatanginya minta dibuatkan tatakan kipas angin dari adonan hitam yang biasa iagunakan sebagai bahan pembuat fitting. Matsushita pun menyanggupi.

Sebagai uji coba, Masushita diminta membuat sekitar 1000 buah selama setahun. Jika produknya sesuai standar ia berkesempatan memperoleh order antara 20 ribu hingga 30 ribu buah. Berbeda dengan fitting lampu, biaya produksi untuk tatakan kipas angin jauh lebih murah karena tidak memakai bahan logam. Dari pesanan 1000 tatakan ia memperoleh bayaran 160 yen. Seprohnya, 80 yen diakui sebagai keuntungannya. Tidak disangka pesanan tatakan kipas angin mengalir tanpa henti. Omzet yang diraih pun terus membesar. Hingga kemudian Matsushita beroleh julukan sebagai Raja Elektrik Jepang.

Apa jadinya jika Matsushita tidak membuat fitting lampu? Yang pasti namanya mungkin tidak akan sebesar sekarang. Fitting lampu yang diciptakannya memang gagal tapi ia, justru karena itulah ia memperoleh kesempatan membuat produk lain yang akhirnya melambungkan namanya. Kesabaran dalam berbisnis penting untuk dimiliki. Pasalnya, untuk membangun sebuah bisnis baru melewati sejumlah tahapan panjang. Termasuk resiko-resiko kegagalan yang mesti dihadapi.

Jika kegagalan berlangsung secara beruntun ataupun jika usaha yang dilakukan tak kunjung membuah hasil maka akan memukul secara mental. Bisa jadi mereka terpikir untuk kembali ke posisi sebagai karyawa, seperti yang sempat terbersit di benak Matsushita. Jika usaha yang dijalankan masih berusia setahun masih mungkin seseorang balik badan untuk menjadi karyawan. Pengetahuan dan kemampuannya belum sepenuhnya hilang. Tapi bagaimana jika kegagalan tersebut terjadi setelah bisnisnya berjalan lama? Resiko yang ditanggung cukup berat. Niat untuk menjadi karyawan urung, bisnis yang dijalankan pun buntung.

Jika ditanyakan, sebenarnya apa faktor penyebab kegagalan? Jawabannya sangat beragam. Tiap orang punya pengalaman sendiri terkait dengan kegagalan usaha yang dialaminya. Tapi ada beberapa faktor yang sering dianggap cukup dominan. Diantaranya, salah memilih bisnis, salah memilih mitra bisnis, maupun salah memprediksi pasar, ingin cepat besar, terlalu ekspansif serta force majeure. Sekuat apapun finansial yang dimiliki, jika salah satu dari faktor tersebut menjadi bagian dari bisnis yang dijalankan, besar kemungkinan akan gagal.

Kejadian semacam itu pernah menimpa Tohar Ota, pemegang waralaba Rumah Makan Madang Sederhana (RMPS) Bintaro. Ia mengaku salah memilih bisnis ketika usaha resto yang dijalankan tidak berjalan sesuai rencana. Sebelum mengelola resto masakan Padang, Tohar sudah lebih dulu mengambil franchise Bakmi Japos. Ia berani membenamkan investasi antara Rp1,5 miliar-Rp2 miliar.

Pada waktu itu, resto Bakmi Japos sedang naik daun sehingga banyak yang tertarik untuk menjalin kemitraan. Termasuk Tohar, yang tanpa berpikir panjang memutuskan untuk menjadi franchisee. Awalnya, resto yang menyajikan menu andalan mi ini selalu dibanjiri pengunjung. Pada bulan pertama omzetnya bahkan mencapai Rp20 juta per hari. Tapi keramaian itu hanya berlangsung sesaat. Setelah berjalan sekitar empat bulan penjualannya terus menurun sampai hanya pada kisaran Rp5 juta sebulan.

Hal ini terjadi, karena perhatian yang diberikan sang franchisor berkurang. “Mungkin karena sedang booming, perhatianterhadap mitra menjadi berkurang,” ujar Tohar. Kondisi restonya terus memburuk. Sampai akhirnya ia memutuskan usahanya yang telah berjalan hampir dua tahun tersebut. Langkah ini dilakukan agar kerugian yang ditanggung tidak kian membesar. Termasuk untuk menyelamatkan investasi yang atelah ditanam agar tidak semuanya lenyap.

Kejadian pahit yang dialami Tohar, mungkin belum seberapa jika dibandingkan peristiwa nahas yang dialami Sofian Tjandera. Pria yang mengelola franchise I-Tutor dan I-Solution ini mengalami kegagalan karena faktor salah memilih mitra bisnis. Ia sebelumnya cukup lama bekerja di perusahaan sekuritas. Ketika itu pasar saham sedang booming. Sofian rupanya menangguk keuntungan yang cukup besar dengan situasi yang terjadi bursa saham.

Lewat uang yang diperoleh, ia mampu membeli rumah toko (ruko) di daerah Duri Kosambi, yang kini ditempatinya. Tidak hanya itu, Sofian masih bisa membeli enam ruko lainnya. Termasuk membangun pabrik garmen di atas lahan seluas 2000 m2 dengan ratusan mesin serta merekrut ribuan karyawan. Peluang bisnis sudah berada di depan mata. Tinggal bagaimana menjalankan perusahaan tersebut.

Sofian mempercayakan kelangsungan pabriknya kepada teman SMA-nya yang kebetulan sedang membutuhkan bantuan. Ia megaku tidak terjun langsung karena tidak paham seluk beluk dunia garmen. “Ternyata saya ditipu. Barang-barang saya yang berkualitas ekspor tidak dapat diekspor. Yang lebih menyakitkan lagi setiap kali perusahaan saya mendapt order, selalu dialihkan ke perusahaan saudaranya,” kenang Sofian. Akibatnya, kondisi finansial perusahaan morat-marit. Bahkan Sofian mengaku sampai habis-habisan. Peristiwa tersebut telah memukul mentalnya. “Saya merasa setengah gila”.

Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Kondisinya mulai membaik ketika ia mulai mengelola I-Tutor yang merupakan merek dagang yang bergerak di bidang pendidikan. I-Tutor telah di-endorsed di negara-negara ASEAN plus Cina ini, dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan siswa dalam kemampuan berbahasa Inggris, matematika dalam Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin, sains, dan pengetahuan teknologi informasi. Selain I-Tutor ada juga I-Solution dimana keduanyakini sudah memiliki hampir 750 cabang yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Terlepas dari getirnya mengalami kegagalan, banyak hal yang sebenarnya bisa dipetik dari peristiwa itu. Seseorang bisa lebih berhati-hati ketika akan menjalankan bisnis selanjutnya. Sudah tentu agar tidak tercebur pada lubang yang sama. Seperti diakui Tohar, ia jadi bisa memprediksi kapan kira-kira usahanya menunkukkan gejala akan bangkrut. Sebelum hal itu terjadi, ia perlu bertindak cepat. Termasuk menutup usahanya agar kerugian tidak membesar.

Jadi akankah kegagalan tetap dianggap sebagai momok yang menakutkan? Bagi pengusaha pemula, kisah-kisah semacam ini seharusnya bisa menjadi pelecut untuk tidak takut dengan kegagalan. Apalagi kegagalan sering diasumsikan sebagai sebuah proses menuju sukses. Ini artinya, setiap orang akan bisa menemukan sendiri kebangkitan dari kegagalan yang pernah dialami. Tinggal berbicara seberapa besar nyali yang dimiliki. (majalahpengusaha.com)

Baca Juga :
- Strategi Harga Dalam Marketing
- Kisah Sukses Pendiri Kebab Turki Baba Rafi
- Jabatan Manajer Ditinggalkan Rugi Rp250 Juta Bangkit bersama Lele
- Peluang Usaha Bebek Presto


Tidak ada komentar:

Posting Komentar